Selasa, 10 Desember 2013

Pelajaran dari Bidan Sunarti

“Jarang orang mau mengakui, kesederhanaan adalah kekayaan yang terbesar di dunia ini: suatu karunia alam.” (Pramoedya Ananta Toer, dalam buku Mereka Yang Dilumpuhkan)

Bidan Sunarti di kediamannya
yang asri ^^
Kesederhanaan itu juga yang kita temui andai bertandang ke rumah Ibu Sunarti, seorang bidan yang mendapatkan Srikandi Award 2012. Kediamannya sederhana di tengah pedesaan Kokap, Hargotirto, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Berjarak satu sampai dua jam perjalanan dari pusat kota Yogyakarta. Rumahnya teduh dengan pepohonan, meski angin pantai berkesiur membawa panas.
Dalam kesederhanaannya tidak memupus kesehajaan yang ditampilkan. Di sela-sela kesibukannya di ruang prakteknya, yang sekaligus rumahnya, Ibu Sunarti mau bercerita tentang kisah hidup selama 21 menjadi bidan di daerah pedalaman. Dengan suguhan segelas kopi susu, suasan siang itu semakin hangat. Nampak tutur kata Ibu Sunarti tertata, meski sesekali ia mengambil napas jeda.
Penanya (P) : Sudah berapa lama Ibu menjadi bidan?
Ibu Sunarti(IS): Saya sudah 21 tahun menjadi bidan. Waktu itu saya lulus tahun 1991 dari D1 Kebidanan di Poltekkes Jogja. Sebenarnya kalau di sini (red: Kokap), saya baru 17 tahun. Awal-awal dulu, sekitar 4 tahun berkerja di daerah lebih bawah, di pinggiran kota. Baru sekitar tahun 1995 saya pindah kesini. Perjuangan sewaktu memutuskan pindah kesini.
P : Selama 21 tahun menjadi bidan, pasti banyak hal yang telah dialami. Pengalaman apa yang menurut ibu paling berkesan?
IS : Setiap hari selalu ada saja pengalaman menarik dan berkesan. Salah satunya yang berkaitan dengan gizi, suatu saat pada saat merawat ibu post-partum (red: kondisi sehabis melahirkan). Saya melihat anak-anak berebut makanan yang ada di tampah (red: wadah dari anyaman bambu). Mereka sampai nangis dan cakar-cakaran karena rebutan makan. Ketika saya coba lihat ternyata mereka berebut nasi thiwul (makanan dari ketela, pengganti nasi). Sakit hati saya, kekayaan negara kita seolah tak bermakna apa-apa. Dari situ saya punya tekad agar ibu-ibu bisa menyediakan makanan yang bergizi bagi anaknya. Makanan bergizi yang tidak harus mahal.
P : Bisa Ibu ceritakan proses dari sebuah keprihatinan menjadi sebuah ide memberdayakan masyarakat untuk bisa menyediakan makanan bergizi yang tidak mahal?
IS : Waktu itu, di tahun 1997 pada saat krisis moneter. Saya berpikir kalau anak-anak pola makanannya seperti ini, saya tidak bisa membayangkan kedepannya seperti apa pertumbuhannya. Ibu-ibu juga sudah tidak terlalu memikirkan sampai situ. Apa-apa serba mahal, banyak yang kemudian menjadi TKI. Tambah tidak terurus lagi anaknya.
Bidan Sunarti di acara kader kesehatan

 Waktu itu saya jujur tidak tahu bagaimana memulainya. Awalnya saya coba kasih stimulan berupa sedikit uang, ternyata tidak ada pengaruh apa-apa. Saya pikir salah cara ini. Kemudian saya berpikir lagi. Kenyataan bahwa daerah sini yang termasuk kantong kemiskinan DIY, memiliki tanah yang kurang subur karena tanah liat. Yang bisa tumbuh disini adalah singkong, tapi kasian kalau setiap hari makan daun singkong. Akhirnya waktu itu saya melihat buku yang menarik tentang pembudidayaan tanaman keluarga di perkotaan. Bukunya menarik, sehingga saya memutuskan untuk membeli buku itu, cuma 15 ribu rupiah. Kemudian saya coba praktekkan di pekarangan rumah. Harus hati-hati sih, karena bisa kalah sama ayam yang  “ganas-ganas”.
 Awalnya, saya ngajak masyarakat di sini itu ya tidak gampang. Banyak yang meragukan tanaman bisa tumbuh di tanah yang seperti ini (tanah liat). Namun seiring tanaman di pekarangan saya mulai tumbuh baik, banyak yang ingin dan waktu itu saya bantu dengan memberikan benihnya kepada masyarakat. Kemudian saya mencoba memulai dengan mengambil sampel di dusun yang lebih atas untuk mengajak mereka menanam tanaman pekarangan. Dan hasilnya Alhamdulillah baik.
P : Bagaimana tentang budidaya jamur yang kemudian ibu kembangkan?
IS : Nah, waktu pertama hanya jenis sayuran yang kita kembangkan. Namun kemudian saya berpikir, proteinnya bisa dipenuhi darimana ya? Kalau daging dan telur jelas mahal, perlu uang. Waktu itu saya sedang mengantarkan anak saya ke rumah pintar di dekat sini (program SIKIB), dan secara tak sengaja saya membaca tentang jamur dan kandungan nutrisinya yang lengkap. Saya kepikiran untuk mencoba membudidayakannya disini (tahun 2010). Dan Alhamdulillah walaupun belum banyak tapi hasilnya sudah kelihatan dan respon dari masyarakat juga baik.
P : Bagaimana dengan dukungan dari pejabat setempat terkait program ibu?
IS : Tentu saya meminta dukungan dari semua pihak tapi memang baru sebatas dukungan moral saja. Untuk finansial selama ini masih swadaya. Saya hanya bidan desa biasa, jadi kalau ada sedikit rejeki ya coba saya cak’e (red: terapkan, jawa). Walau tidak banyak yang penting, dimulai dulu, nanti selanjutnya dipikirkan lagi bersama-sama.
P : Pernahkah ibu mengalami fase jenuh dan hampir putus asa menghadapi tantangan-tantangan dari usaha yang dilakukan ? Bagaimana ibu mengatasinya?
IS : Pasti pernah lah, setiap orang juga pernah mengalami fase jenuh. Kalau saya ketika sudah mendekati fase itu, saya istirahat sejenak dari program, ditinggal dulu baru nanti kembali lagi kalau sudah fresh. Buat masyarakat kita ndak boleh menyerah, ndak boleh putus asa. Karena siapa lagi kalau bukan kita. Dulu waktu awal-awal saya disini juga tantangannya luar biasa. Bayangkan daerah yang aksesnya sulit dan belum ada listrik seperti sekarang, padahal Jogja lho... Tapi saya bahagia disini, melihat orang lain bahagia karena keberadaan kita itu kebahagiaan yang tak terukur dengan uang. Itu yang membuat saya bertahan.
P : Bagaimana ceritanya sampai kemudian Ibu memenangkan Srikandi Awards di akhir tahun 2012 yang lalu?
IS : Sebenarnya saya tidak tahu tentang Srikandi Awards, tetapi tiba-tiba saja saya dihubungi bahwa saya masuk nominasi. Saya sempat bilang “Mbok jangan saya, saya takut”. Tapi Pak Alwan bilang, sudah diterima saja, nanti akan ada orang ke tempat ibu. Terserah ibu orang itu mau diapakan. Waktu itu saya juga tidak menyiapkan apa-apa, ketika ditanya ibu-ibu kader pun, saya bilang tidak perlu menyiapkan apa-apa, natural saja. Petugas yang datang saya ajak melihat kegiatan-kegiatan kami yang memang sudah rutin dilaksanakan. Pokoknya saya membuat kegiatan dengan masyarakat disini, bukan untuk award atau sejenisnya, intinya untuk srawung (bergaul, jawa.red) dengan masyarakat. Dan masyarakat bisa menikmati dan merasakan manfaatnya. Dan inovasi-inovasi ini muncul dengan melihat realita di masyarakat, kemudian cari inspirasi dengan membaca dan membaca.
Srikandi Award untuk Bidan Sunarti, gile ndro,
Terbaik Pertama coba ^^

P : Apa ibu puas mendapatkan Srikandi Awards 2012 ini?
IS : Wah, kalau menurut saya, yang pantas mendapat penghargaan ini adalah  ibu-ibu kader disini. Mereka yang berusaha keras, ngangkat timbangan kemana-mana, naik gunung dengan membawa barang-barang berat untuk kegiatan dan sebagainya. Saya cuma membantu memulai saja, setelah itu, ibu-ibu kader disini bekerja keras bersama-sama.
P : Apa rencana dan impian Ibu setelah ini?
IS : Setelah ini saya pengen mengajak masyarakat di sekitar waduk Sermo (Kulonprogo, Yogyakarta) untuk memanfaatkan tanah disekitar sana untuk tanaman keluarga dan juga taman bunga. Nanti hasilnya bisa dijual kepada wisatawan yang datang ke Waduk Sermo. Selain itu, bisa mempercantik pemandangan di waduk Sermo. Saya ingin nanti diberi nama Taman Krisan. Siang ini saya mau bertemu dengan ibu-ibu disana untuk pertama kali. Semoga lancar dan saya berharap dukungan dari banyak pihak, karena saya hanya bidan desa biasa, tidak bisa kalau bekerja sendirian.

Ibu Sunarti menutup percakapan dengan sebuah kesimpulan tersirat bahwa tidak susah untuk berbuat baik kepada masyarakat. Beliau melihat persoalan, dengan tangan sederhananya berusaha mencari solusi terdekat dari kehidupannya. Ksederhaan, kesahajaan, dan kepedulian sepertinya menjadi nilai-nilai yang diyakini kuat. Seperti kata Pramoedya, bahwa kesederhaan adalah anugerah alam. Tidak perlu congkak akan ketinggian ilmu dan title pendidikan.
Maju terus Ibu Sunarti. Kami para dokter berutang kepadamu. (*)

dr.Mushtofa Kamal, dokter puskesmas

Lomba Blog FPKR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar