Selasa, 10 Desember 2013

Pelajaran dari Bidan Sunarti

“Jarang orang mau mengakui, kesederhanaan adalah kekayaan yang terbesar di dunia ini: suatu karunia alam.” (Pramoedya Ananta Toer, dalam buku Mereka Yang Dilumpuhkan)

Bidan Sunarti di kediamannya
yang asri ^^
Kesederhanaan itu juga yang kita temui andai bertandang ke rumah Ibu Sunarti, seorang bidan yang mendapatkan Srikandi Award 2012. Kediamannya sederhana di tengah pedesaan Kokap, Hargotirto, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Berjarak satu sampai dua jam perjalanan dari pusat kota Yogyakarta. Rumahnya teduh dengan pepohonan, meski angin pantai berkesiur membawa panas.
Dalam kesederhanaannya tidak memupus kesehajaan yang ditampilkan. Di sela-sela kesibukannya di ruang prakteknya, yang sekaligus rumahnya, Ibu Sunarti mau bercerita tentang kisah hidup selama 21 menjadi bidan di daerah pedalaman. Dengan suguhan segelas kopi susu, suasan siang itu semakin hangat. Nampak tutur kata Ibu Sunarti tertata, meski sesekali ia mengambil napas jeda.
Penanya (P) : Sudah berapa lama Ibu menjadi bidan?
Ibu Sunarti(IS): Saya sudah 21 tahun menjadi bidan. Waktu itu saya lulus tahun 1991 dari D1 Kebidanan di Poltekkes Jogja. Sebenarnya kalau di sini (red: Kokap), saya baru 17 tahun. Awal-awal dulu, sekitar 4 tahun berkerja di daerah lebih bawah, di pinggiran kota. Baru sekitar tahun 1995 saya pindah kesini. Perjuangan sewaktu memutuskan pindah kesini.
P : Selama 21 tahun menjadi bidan, pasti banyak hal yang telah dialami. Pengalaman apa yang menurut ibu paling berkesan?
IS : Setiap hari selalu ada saja pengalaman menarik dan berkesan. Salah satunya yang berkaitan dengan gizi, suatu saat pada saat merawat ibu post-partum (red: kondisi sehabis melahirkan). Saya melihat anak-anak berebut makanan yang ada di tampah (red: wadah dari anyaman bambu). Mereka sampai nangis dan cakar-cakaran karena rebutan makan. Ketika saya coba lihat ternyata mereka berebut nasi thiwul (makanan dari ketela, pengganti nasi). Sakit hati saya, kekayaan negara kita seolah tak bermakna apa-apa. Dari situ saya punya tekad agar ibu-ibu bisa menyediakan makanan yang bergizi bagi anaknya. Makanan bergizi yang tidak harus mahal.
P : Bisa Ibu ceritakan proses dari sebuah keprihatinan menjadi sebuah ide memberdayakan masyarakat untuk bisa menyediakan makanan bergizi yang tidak mahal?
IS : Waktu itu, di tahun 1997 pada saat krisis moneter. Saya berpikir kalau anak-anak pola makanannya seperti ini, saya tidak bisa membayangkan kedepannya seperti apa pertumbuhannya. Ibu-ibu juga sudah tidak terlalu memikirkan sampai situ. Apa-apa serba mahal, banyak yang kemudian menjadi TKI. Tambah tidak terurus lagi anaknya.
Bidan Sunarti di acara kader kesehatan

 Waktu itu saya jujur tidak tahu bagaimana memulainya. Awalnya saya coba kasih stimulan berupa sedikit uang, ternyata tidak ada pengaruh apa-apa. Saya pikir salah cara ini. Kemudian saya berpikir lagi. Kenyataan bahwa daerah sini yang termasuk kantong kemiskinan DIY, memiliki tanah yang kurang subur karena tanah liat. Yang bisa tumbuh disini adalah singkong, tapi kasian kalau setiap hari makan daun singkong. Akhirnya waktu itu saya melihat buku yang menarik tentang pembudidayaan tanaman keluarga di perkotaan. Bukunya menarik, sehingga saya memutuskan untuk membeli buku itu, cuma 15 ribu rupiah. Kemudian saya coba praktekkan di pekarangan rumah. Harus hati-hati sih, karena bisa kalah sama ayam yang  “ganas-ganas”.
 Awalnya, saya ngajak masyarakat di sini itu ya tidak gampang. Banyak yang meragukan tanaman bisa tumbuh di tanah yang seperti ini (tanah liat). Namun seiring tanaman di pekarangan saya mulai tumbuh baik, banyak yang ingin dan waktu itu saya bantu dengan memberikan benihnya kepada masyarakat. Kemudian saya mencoba memulai dengan mengambil sampel di dusun yang lebih atas untuk mengajak mereka menanam tanaman pekarangan. Dan hasilnya Alhamdulillah baik.
P : Bagaimana tentang budidaya jamur yang kemudian ibu kembangkan?
IS : Nah, waktu pertama hanya jenis sayuran yang kita kembangkan. Namun kemudian saya berpikir, proteinnya bisa dipenuhi darimana ya? Kalau daging dan telur jelas mahal, perlu uang. Waktu itu saya sedang mengantarkan anak saya ke rumah pintar di dekat sini (program SIKIB), dan secara tak sengaja saya membaca tentang jamur dan kandungan nutrisinya yang lengkap. Saya kepikiran untuk mencoba membudidayakannya disini (tahun 2010). Dan Alhamdulillah walaupun belum banyak tapi hasilnya sudah kelihatan dan respon dari masyarakat juga baik.
P : Bagaimana dengan dukungan dari pejabat setempat terkait program ibu?
IS : Tentu saya meminta dukungan dari semua pihak tapi memang baru sebatas dukungan moral saja. Untuk finansial selama ini masih swadaya. Saya hanya bidan desa biasa, jadi kalau ada sedikit rejeki ya coba saya cak’e (red: terapkan, jawa). Walau tidak banyak yang penting, dimulai dulu, nanti selanjutnya dipikirkan lagi bersama-sama.
P : Pernahkah ibu mengalami fase jenuh dan hampir putus asa menghadapi tantangan-tantangan dari usaha yang dilakukan ? Bagaimana ibu mengatasinya?
IS : Pasti pernah lah, setiap orang juga pernah mengalami fase jenuh. Kalau saya ketika sudah mendekati fase itu, saya istirahat sejenak dari program, ditinggal dulu baru nanti kembali lagi kalau sudah fresh. Buat masyarakat kita ndak boleh menyerah, ndak boleh putus asa. Karena siapa lagi kalau bukan kita. Dulu waktu awal-awal saya disini juga tantangannya luar biasa. Bayangkan daerah yang aksesnya sulit dan belum ada listrik seperti sekarang, padahal Jogja lho... Tapi saya bahagia disini, melihat orang lain bahagia karena keberadaan kita itu kebahagiaan yang tak terukur dengan uang. Itu yang membuat saya bertahan.
P : Bagaimana ceritanya sampai kemudian Ibu memenangkan Srikandi Awards di akhir tahun 2012 yang lalu?
IS : Sebenarnya saya tidak tahu tentang Srikandi Awards, tetapi tiba-tiba saja saya dihubungi bahwa saya masuk nominasi. Saya sempat bilang “Mbok jangan saya, saya takut”. Tapi Pak Alwan bilang, sudah diterima saja, nanti akan ada orang ke tempat ibu. Terserah ibu orang itu mau diapakan. Waktu itu saya juga tidak menyiapkan apa-apa, ketika ditanya ibu-ibu kader pun, saya bilang tidak perlu menyiapkan apa-apa, natural saja. Petugas yang datang saya ajak melihat kegiatan-kegiatan kami yang memang sudah rutin dilaksanakan. Pokoknya saya membuat kegiatan dengan masyarakat disini, bukan untuk award atau sejenisnya, intinya untuk srawung (bergaul, jawa.red) dengan masyarakat. Dan masyarakat bisa menikmati dan merasakan manfaatnya. Dan inovasi-inovasi ini muncul dengan melihat realita di masyarakat, kemudian cari inspirasi dengan membaca dan membaca.
Srikandi Award untuk Bidan Sunarti, gile ndro,
Terbaik Pertama coba ^^

P : Apa ibu puas mendapatkan Srikandi Awards 2012 ini?
IS : Wah, kalau menurut saya, yang pantas mendapat penghargaan ini adalah  ibu-ibu kader disini. Mereka yang berusaha keras, ngangkat timbangan kemana-mana, naik gunung dengan membawa barang-barang berat untuk kegiatan dan sebagainya. Saya cuma membantu memulai saja, setelah itu, ibu-ibu kader disini bekerja keras bersama-sama.
P : Apa rencana dan impian Ibu setelah ini?
IS : Setelah ini saya pengen mengajak masyarakat di sekitar waduk Sermo (Kulonprogo, Yogyakarta) untuk memanfaatkan tanah disekitar sana untuk tanaman keluarga dan juga taman bunga. Nanti hasilnya bisa dijual kepada wisatawan yang datang ke Waduk Sermo. Selain itu, bisa mempercantik pemandangan di waduk Sermo. Saya ingin nanti diberi nama Taman Krisan. Siang ini saya mau bertemu dengan ibu-ibu disana untuk pertama kali. Semoga lancar dan saya berharap dukungan dari banyak pihak, karena saya hanya bidan desa biasa, tidak bisa kalau bekerja sendirian.

Ibu Sunarti menutup percakapan dengan sebuah kesimpulan tersirat bahwa tidak susah untuk berbuat baik kepada masyarakat. Beliau melihat persoalan, dengan tangan sederhananya berusaha mencari solusi terdekat dari kehidupannya. Ksederhaan, kesahajaan, dan kepedulian sepertinya menjadi nilai-nilai yang diyakini kuat. Seperti kata Pramoedya, bahwa kesederhaan adalah anugerah alam. Tidak perlu congkak akan ketinggian ilmu dan title pendidikan.
Maju terus Ibu Sunarti. Kami para dokter berutang kepadamu. (*)

dr.Mushtofa Kamal, dokter puskesmas

Lomba Blog FPKR

Potret Puskesmas di Kabupaten Bangkalan

Kami berkesempatan mengunjungi 2 puskesmas di Pulau Garam, Madura, yaitu Puskesmas Arosbaya dan Puskesmas Jaddih di Kabupaten Bangkalan. Terik matahari terus menyengat selamaperjalanan Surabaya-Madura. Jembatan Suramadu yang gagah menghubungkan dua pulau, Jawa-Madura. Efek pertama dari kehadiran jembatan itu adalah semakin ramainya Bangkalan karena menjadi destinasi. Tenda dan bangunan rumah makan menjamur dan dipenuhi pelancong, lebih-lebih hari libur dan hari raya.
Bangkalan Madura dibatasi oleh laut dan daratan. Di bagian utara dan barat dibatasi oleh Laut Jawa. Sisi sebelah selatan bersinggungan dengan Selat Madura, sedangkan sisi timur dibatasi oleh Kabupaten Sampang. Kabupaten Bangkalan terdiri atas 18 kecamatan yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Bangkalan.
Puskesmas pertama yang kami kunjungi adalah Puskesmas Jaddih, Kecamatan Socah. Sambutan para petugas puskesmas hangat dan kekeluargaan. Sengat panas di Pulau Garam sirna seketika.
Seperti sebagian kondisi Puskesmas di berbagai daerah, sarana dan prasarana Puskesmas Jaddih pun masih jauh dari harapan masyarakat. Puskesmas ini memilki 20 desa sebagai daerah binaan dengan wilayah cakupan yang luas. Cukup besar untuk ukuran puskesmas di kecamatan. Hal ini diperparah dengan kondisi jalan yang relatif masih buruk, hingga akses puskesmas harus ber-effort besar. Meskipun jalan tepat di depan Puskesmas kini sudah baik berkat perbaikan yang dilakukan tepat dua minggu sebelum kedatangan kami.
 “Saya merasa puas dengan pelayanan yang diterima di puskesmas Jaddih, petugas kesehatan yang cepat tanggap dalam melayani pasien dan bersikap ramah, hanya saja akses menuju puskesmas menjadi sulit karena kondisi jalan yang rusak”, ucap Cholis, salah satu masyarakat yang menjadi pasien Puskesmas Jaddih.
Itu dari segi akses. Bagaimana dengan simah, ‘isi rumah’ dari Puskesmas Jaddih? Tidak jauh berbeda memang. Sarana dan prasarana penunjang kinerja karyawan terbatas, seperti ambulan atau mobil untuk menjangkau pasien dengan jarak jauh. Apalagi ketika ditengok, bahwa Puskesmas Jiddah juga mengalami keterbatasn tenaga ahli kesehatan.
Menurut Kepala Puskesmas Jaddih, meskipun jumlah sedikit tapi memiliki keterampilan cukup memadai. Tetapi tetap perlu ditingkatkan kembali keterampilannya, tambahnya. Harapan beliau, tenaga kesehatan yang ada dapat terus memacu diri untuk jadi lebih terampil dan lebih baik lagi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Distribusi obat-obatan yang lama dan tidak merata dari pemerintah juga menjadi kendala Puskesmas Jaddih. Menurut asisten apoteker setempat, bahkan pernah sampai kekurangan obat-obatan. Dengan lamanya distribusi obat-obatan membuat stok obat kosong di Dinkes setempat. Hal ini membuat Puskesmas harus berusaha menyediakan sendiri obat-obatan untuk pelayanan kepada masyarakat. Pernah terjadi gudang penyimpanan obat terendam banjir. Itu karena kondisi gedung yang masih kurang bagus. Miris memang.
Menurut Bidan setempat, kerjasama dengan paraji setempat sangat baik. Sebelumnya melalui pendekatan yang cukup panjang dan mendalam, bidan-bidan setempat berhasil merangkul paraji dan bermitra hingga kini. Program pelatihan paraji berjalan dengan baik. Berkat kerjasama ini paraji tidak lagi menangani persalinan sendirian, melainkan selalu memanggil bidan untuk meminimalkan kematian ibu dan bayi. Bahkan uniknya menurut salah satu paraji yang kami wawancarai, meski sudah menjadi paraji selama 20 tahun, beliau tidak pernah berani memotong tali pusar sendiri. Beliau juga sudah tahu batasan antara tindakan yang boleh dilakukan paraji dan yang harus dilakukan oleh bidan.
Seorang perawat di Puskesmas Jaddih, berharap agar institusi pendidikan kesehatan lebih ketat dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru. Memilih yang benar-benar memiliki naluri menjadi tenaga kesehatan sehingga dapat bekerja lebih baik, lebih maksimal dan lebih ikhlas dalam melayani masyarakat. Menurut koordinator bidan setempat, mahasiswa tenaga kesehatan, khususnya calon bidan, dinilai belum memiliki ketulusan dan kecakapan  keterampilan. Bahkan seorang dokter sekalipun. Pernah terjadi, seorang dokter gigi hanya bertahan 3 bulan di Puskesmas Jaddih, dengan alasan pergi yang terkesan manja. Dan sampai sekarang belum ada penggantinya.
Harapan dari berbagai narasumber adalah perbaikan dan penambahan sarana dan prasarana Puskesmas untuk memningkatkan pelayanan kesehatan. Penambahan jumlah tenaga kesehatan serta pelatihan tenaga kesehatan. Satu lagi, mereka mengharapkan pemerintah baik pusat maupun daerah memerhatikan kesejahteraan tenaga kesehatan serta memperjelas status kepegawaian mereka. Harapan ini tentu wajar mengingat area pengabdian dan beban tugas yang besar.
Lepas Salat Jumat kami berangkat dengan penuh semangat ke Puskesmas kedua yaitu Puskesmas Arosbaya.
Kurang lebih 30 menit, kami tiba di Puskesmas Arosbaya. Puskesmas ini sangat jauh berbeda dengan Puskesmas Jaddih. Puskesmas Arosbaya telah memiliki bangunan yang jauh lebih kokoh dan besar. Puskesmas ini sudah menjadi Puskesmas PONED (Penanganan Obstetri Neonatal Emergency Dasar) dengan tenaga kesehatan yang sudah diberikan pelatihan PONED.
Bangunan rawat inap Puskesmas Arosbaya lebih baik dan terawat dengan berbagai kelas rawat inap. Bahkan Puskesmas ini juga dapat disebut Puskesmas Plus karena selain tersedianya fasilitas rawat inap, Puskesmas ini juga memiliki Poli Khusus yaitu Poli dokter spesialis mata, kandungan, gigi, dll.
Dari wawancara kami dengan kepala puskesmas, kami mendapati bahwa puskesmas ini memiliki pelayanan yang baik dan dicari oleh masyarakat. Hanya sikap para tenaga kesehatan yang perlu diperbaiki. Rata-rata tenaga kesehatan di sini tidak memiliki sikap yang baik dan kurang tanggap. Menurutnya perlu dilakukan penyaringan peserta didik agar tidak menghasilkan lulusan yang asal jadi. Lulusan yang tidak hanya mengacu pada nilai, tetapi sikap dan ketanggapan juga harus diperhatikan. Lulusan dengan kecakapan dan kebaikan sikap akan memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakat.
Senada dengan itu, dokter gigi di Puskesmas setempat merasa sikap tenaga medis yang baru lulus memiliki sikap kurang baik dan keterampilan minim. Menurut bidan ahli setempat, para mahasiswa tenaga kesehatan itu kurang memiliki motivasi dan tidak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dalam menggali ilmu pengetahuan di lapangan. Dinilai kedisiplinan mereka rendah.
Menurut seorang perawat ahli, sarana dan prasarana yang diberikan pemerintah tidak standar dan cepat rusak. Sering butuh perawatan.
Dengan kondisi plus-minus seperti ini, masyarakat sudah merasa puas dengan pelayanan Puskesmas Arosbaya. Mereka mendapatkan pelayanan prima, tanggap, dan nyaman. Berbicara tentang kualitas tenaga kesehatan menurut beberapa masyarakat harus dilakukan perbaikan karena tidak meratanya sebaran tenaga ahli. Dan terakhir mereka mengimbau agar pendidik tidak menjadikan institusi kesehatan sebagai alat untuk mengeruk keuntungan.
Kolaborasi, birokrasi dan distribusi pelayanan kesehatan di Kabupaten Bangkalan harus diperhatikan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam berbagai bidang terutama sebaran sumber daya manusia serta sarana dan prasarana yang memadai, agar dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang maksimal serta dapat meningkatnya derajat kesehatan masyarakat Bangkalan. Pengetahuan, keterampilan dan kompetensi tenaga kesehatan harus ditingkatkan sejak bangku kuliah dan hal tersebut menjadi tanggungjawab bersama antara institusi pendidikan kesehatan dan pemerintah.
Kelak kita akan melihat masyarakat sehat, karena tenaga medisnya berkualitas hebat, cukup jumlahnya, bagus etikanya, dan tentu mudah dijangkau masyarakat. (*)

Bangkalan, 23 Agustus 2013.
dr.Mushtofa Kamal

Lomba Blog FPKR

Ketika Puskesmas Overload

Kapan terakhir ke puskesmas? Atau jangan-jangan puskesmas hanya kita kenal di pelajaran sekolah? Kita pernah membacanya di buku Bahasa Indonesia, yang dikunjungi Budi dan keluarganya ketika sakit. Kita hampir-hampir tidak pernah meniatkan diri untuk berobat ke Puskesmas.
Di pikiran kita puskesmas lokasi paling pas untuk berobat masyarakat bawah dan orang miskin. Lokasinya di daerah terpencil, dengan peralatan kesehatan kurang modern. Suasananya riuh dan kumuh. Dokter-dokter datang terlambat, susah ditemui dan malas-malasan. Itu memang gambaran pertama kalau kata puskesmas. Dan faktanya memang demikian. Terlebih di kota-kota besar, dimana akses rumah sakit terbuka luas, Puskesmas menjadi mata kiri yang tidak perlu diperhitungkan. Masyarakat lebih memilih berobat ke rumah sakit.
Puskesmas Majalaya
Tetapi bagaimana dengan cerita puskesmas dengan 400 pasien dalam sehari? Apa itu puskesmas terbaik dengan tenaga dan alat kesehatan terbaik? Hingga para pasien membludak begitu. Mari kita telisik.
Fenomena itu dapat ditemukan di Puskesmas Majalaya Baru, Kabupaten Bandung. Puskesmas di daerah sub urban Kabupaten Bandung. Lumayan jauh dari daerah perkotaan yang hingar-bingar dengan julukan Paris van Java. Dengan mobil memakan waktu dua jam perjalanan dari pusat kota Bandung. Jangan tanya bagaimana kondisi jalan. Beraspal atau tidak. Kita tentu tahu bagaimana kondisi jalan di daerah-daerah terpencil. Rahasia umum.
Lokasi Puskesmas Majalaya Baru yang strategis, di pinggir jalan besar pertemuan beberapa daerah di sekitar Majalaya, menjadikan puskesmas ini seperti lampu bagi laron, magnit besar bagi penduduk untuk berobat. Penduduk sakit dari daerah kantong sekitar Majalaya yang sama-sama miskin semua berbondong-bondong ke Puskesma Majalaya Baru. Mau ke rumah sakit jauh, mahal. Jadilah Puskesmas Majalaya Baru hampir-hampir kelebihan beban pasien.
Pagi menjelang siang, antrean mengular di muka loket pendaftaran pasien seperti sedang mengantre sumbangan atau raskin. Kepala Puskesmas Majalaya Baru,  drg Endang NF, M.Kes bahwa pasien di puskesmas tersebut setiap hari membludak. Majalaya merupakan daerah dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai pegawai pabrik dan sedikit yang bekerja sebagai petani maupun wiraswasta. Dan puskesmas Majalaya baru menjadi salah satu andalan masyarakat sekitar untuk berobat ketika sakit. Puskesmas ini memiliki total 42 tenaga kesehatan meliputi 4 dokter umum, 2 dokter gigi, 11 perawat, 11 bidan dan 14 tenaga lain.
Puskesmas Majalaya
Menurut penuturan drg Endang, jumlah pasien ketika hari biasa mencapai 400 orang dan hari sabtu 200 orang. Jadi setiap dokter di Puskesmas Majalaya Baru setiap harinya harus melakukan pemeriksaan untuk 50 sampai 80 orang pasien. Horor! Standarnya dokter di Indonesia hanya memeriksa maksimal 30 pasien,bahkan di luar negeri hanya diperbolehkan paling banyak 20 pasien. Bisa dibayangkan, andai seorang dokter setiap harinya berhadapan dengan lebih dari 30 pasien, kemungkinan untuk ala kadarnya dalam melakukan diagnosa sangat tinggi.
“Bayangkan saja, 400 pasien dalam sehari. Ada 4 dokter umum dan 3 dokter gigi, termasuk saya.  Namun, saya sendiri sudah cukup banyak urusan administratif yang harus dikerjakan”, terang Ibu Endang sambil menunjukkan tumpukan dokumen yang siap ditandatangani. Wajah ayunya tampak letih karena beban pekerjaan.
Untuk menyiasati hal itu Puskesmas Majalaya Baru mengeluarkan surat kewenangan untuk perawat dan bidan, supaya bisa membantu pemeriksaan dan pengobatan pasien. Jadi tidak heran ketika kita melakukan kunjungan ke Puskesmas Majalaya Baru, bidan dan perawat juga berkerja laiknya seorang dokter. Memang kejadian fatal belum terjadi, semoga tidak akan terjadi. Tetapi kemungkinan ke sana akan tetap ada, andai kondisi minim tenaga kesehatan belum juga teratasi.
Kondisi kekurangan tenaga medis sedikit terbantu dengan sering dijadikannya Puskesmas Majalaya sebagai lokasi magang/internship bagi dokter, bidan maupun perawat yang baru lulus dari kampus.
Hal ini cukup membantu dalam pelayanan karena ada tambahan tenaga kesehatan yang bisa diperbantukan di puskesmas. Ketika ditanya soal kompetensi tenaga kesehatan, dr. Rina, salah satu dokter di Puskesmas Majalaya Baru mengatakan bahwa apa yang didapat di kampus sudah cukup. Namun bagi lulusan baru harus sebanyak-banyaknya menggali pengalaman klinis di lapangan, terutama komunikasi efektif yang tidak bisa diajarkan tapi didapat dengan latihan langsung kepada pasien. Mereka butuh jam terbang.
Hal sama juga dialami bagi bidan yang baru saja lulus. Bagi bidan-bidan yang baru lulus, biasanya masih belum siap untuk dilepas sendiri. Mereka masih perlu beberapa kali pendampingan dari dokter maupun bidan senior. Pengalaman klinis yang cukup akan membantu bidan maupun tenaga kesehatan lain untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan yang optimal. Bagaimana pun pasien bukan robot, maneken, atau jenazah yang boleh sesukanya diotak-atik. Pasien adalah manusia hidup, butuh cara komunikasi cara melakukan pemeriksaan yang baik.
Menurut drg. Endang, salah satu kelebihan tenaga medis di Puskesmas Majalaya Baru adalah semangatnya untuk menambah ilmu. Mungkin kesadaran bahwa puskesmas tempat mereka bekerja sedemikian padat oleh pasien, makan keterampilan dan keahlian medis harus terus ditingkatkan.
“Saya sangat senang karena perawat dan bidan disini sangat semangat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Bahkan ada yang sekolah lagi dengan biaya sendiri”, kata drg. Endang dengan semangat.
Kompetensi dan pengetahuan memang harus selalu ditingkatkan dan di-update. Namun, dr Rina menyayangkan bahwa dari dinas kesehatan sendiri tidak konsisten menyelenggarakan pelatihan-pelatihan maupun seminar bagi tenaga kesehatan. Padahal hal tersebut sangat penting. Jauh dan terpencilnya daerah Majalaya menjadi alasan utama kenihilan tersebut.
“Jadi ya seringnya kami hanya update ilmu lewat internet. Dan untuk dokter umum sebaiknya juga diberikan pelatihan-pelatihan khusus seperti EKG dan ATLS-ACLS”, terang dr Rina.
Pasien menunggu dengan sabar :P
Senada dengan dokter Rina, para bidan, salah satunya adalah bidan Tini, juga mengatakan bahwa pengetahuan yang diterima di kampus sebenarnya sudah cukup. Namun perlu jam terbang yang lebih dan juga pelatihan-pelatihan yang kontinyu. Beliau mengaku dalam setahun terakhir ini praktis tidak ada pelatihan yang diadakan oleh dinas kesehatan, jadi beliau bergantung pada internet untuk update ilmu.
Untuk ukuran puskesmas, Puskesmas Majalaya Baru memang overload pasien. Meski dibantu dengan tenaga medis yang magang maupun bidan dan perawat yang secara darurat ditugaskan sesekali mengambil alih peran dokter. Mereka benar-benar membutuhkan tenaga medis khususnya dokter. Wahana untuk meningkatkan skill dan pengetahuan terbaru akan dunia klinis belum dirasakan secara nyata. Mereka hanya mengandalkan internet untuk belajar. Kemungkinan buruk selalu ada dalam dunia klinis. Tetapi kalau tenaga medis yang cukup dan memiliki kemampuan tinggi ada, kemungkinan itu dapat diminimalisir.
Pemerintah pusat harus berkolaborasi dengan pemerintah daerah dalam menyiapkan dan menyediakan tenaga kesehatan, fasilitas dan sarpras, serta program pelayanan kesehatan untuk semua masyarakat, terutama masyarakat di daerah sub urban, yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari kemewahan fasilitas di kota besar. Program-program layanan kesehatan untuk masyarakat kurang mampu seharusnya dapat benar-benar membantu, bukannya mempersulit dengan aturan administrasi yang kompleks.
Kompetensi dan kewenangan dalam memberikan layanan kesehatan merupakan hal utama yang harus dibenahi dalam usaha memberikan pelayanan kesehatan paripurna kepada masyarakat. Kompetensi tenaga kesehatan harus ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan ataupun sertifikasi. Di sisi lain, kewenangan tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan dapat terjaga sesua standar jika jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang tersedia dapat terpenuhi.
Setiap masyarakat berhak mendapatkan layanan kesehatan terbaik, sehingga pendidikan tinggi kesehatan diharapkan mampu menghasilkan tenaga kesehatan yang kompeten dan profesional.
Sehingga nanti tidak akan muncul klausa, “Orang miskin dilarang sakit!”. Miskin kaya tetap memiliki hak sehat yang sama.(*)
dr.Mushtofa Kamal, dokter puskesmas ^^


Lomba Blog FPKR

Sabtu, 07 Desember 2013

Secangkir Teh untuk Che Guevara

Malam minggu ini terasa sama seperti hari-hari sebelumnya sampai aku melihat buku Biographic Novel “Che Guevara” karya Chie Shimano dan Kiyoshi Konno. Tertarik dengan seorang tokoh revolusioner kelahiran Argentina yang menggemparkan dunia, memekik semangat pembebasan rakyat Kuba dan negara-negara lain di Amerika Selatan, bahkan sampai Kongo, Afrika. Dan dia adalah seorang dokter.
Ernesto Guevara Lynch, seorang penderita asthma yang senang main rugby, senang menulis dan melahap berbagai macam judul buku. Chanco atau si Babi, julukan dari Guevara muda yang kemudian memutuskan untuk menjadi seorang dokter pada tahun 1947. Guevara muda memiliki jiwa petualang yang tinggi, bahkan pada usia 23 tahun, Chanco telah memulai perjalanan mengelilingi Amerika Selatan bersama dengan Alberto Granados, sahabat dan pelatih rugby-nya, dengan mengendarai sepeda motor legenda “La Poderosa II” atau Si Perkasa 2. Entah yang pertama seperti apa aku juga tidak begitu tahu.
Dua petualang gila yang kemudian menemukan berbagai macam fenomena masyarakat di Amerika Selatan. Perjalanan 10.000 km yang ditempuh selama kurang lebih 7 bulan ini, Ernesto melihat penderitaan berat kamu miskin. Perjalanan yang awalnya untuk sekedar berpetualang justru menyingkap sisi gelap Amerika Selatan. Kemiskinan dan penindasan.
Klinik Kusta San Pablo di Peru menjadi salah satu titik balik seorang Guevara muda, dimana si Babi bertekad untuk mengobati akar penyebab berbagai macam penyakit ini yaiut kemiskinan dan kelaparan.  Tanggal 26 Juli 1952 keduanya memutuskan berpisah dan Guevara kembali ke Argentina untuk melanjutkan pendidikannya sebagai dokter.
Guatemala, negara pertama yang menjadi tujuan Guevara setelah lulus sebagai dokter. Pergolakan politik di Guatemala yang dipimpin oleh Jacobo Arbenz Guzman saat itu mempertemukan Guevara dengan para pelarian Kuba dan juga Hilda Gadea Acosta, istri pertama Guevara. AS berhasil menguasai Guatemala menyebabkan Guevara berpindah ke Meksiko dan hidup bersama dengan Hilda. Di tengah kesulitan ekonomi keluarganya, Guevara sempat menjadi seorang fotografer. Di situ juga Ernesto bertemu dengan Fidel Castro, seorang pengacara, yang saat itu sudah menjadi salah satu pemimpin karismatik di kalangan warga Kuba.
“Gerakan 26 Juli” itulah nama perlawanan tehadap Batista di Kuba yang diambil dari tanggal tragedy perlawanan Barak Mancada. Guevara memutuskan untuk bergabung dengan gerakan tersebut dengan mengikuti pelatihan militer merangkap tim medis pasukan.
Granma
Kapal motor kecil itu bernama Granma. Kapal kecil berkapasitas 25 orang ini bertugas mengantar pasukan gerakan 26 Juli ke Kuba. Bersama dengan 81 anggota pasukan, Granma dengan gagah melintasi lautan menuju pantai Kuba. Dua hari lebih lambat dari yang diperkirakan, kapal motor kecil Granma berhasil mendarat 2,5 kilometer dari titik pendaratan yang direncanakan, tanpa sambutan dan langsung melanjutkan perjalanan ke pegunungan Sierra Maestra.

Perjalanan ke Sierra Maestra (to be continued)

Kamis, 05 Desember 2013

Sudah Lama Nggak Nge-Blog

Amazing sore..
rafting pertama^^
Bangku nomer 1 perpustakaan kampus depan pusat paleoanthropologi aku memulai petualangan baru. Lembaran baru. Halaman-halaman baru. Dalam ketergantungan sinyal wifi yang kadang hidup-kadang mati seperti lampu lalu lintas di persimpangan-persimpangan yang masih belum yakin, apakah mau berwarna hijau, kuning atau merah. Haha, bingung kan? Sama sepertinya...^^.
Sambil nge-teh sore-sore seperti ini sepertinya enak deh, ditemani gorengan Jln.Kaliurang Km.5, depan Natasha (oh, surga dunia). Plakk. Mimpi ternyata dan sadar bahwa di depan saya bukan teh panas tapi laptop panas plus kotak-kotal excel yang, ah tau sendiri lah ya. Banyak yang harus dikerjain. Numpuk.
Sambil nunggu adzan maghrib, iseng-iseng nih buka-buka kompas.com, lumayan buat refreshing kalau beritanya pas bagus, tapi kalau nggak ya bikin emosi malahan. Dan saya tertarik salah satu artikel pak beye, hehe..piss pak.
SBY megang 2 jagung bareng orang-orang
(harusnya judulnya ini ya? :P)
Yeah, pak Beye akhirnya masuk berita, setelah tenggelam sama Pak Jok. Nah ini ceritanya beliau lagi tour ke Pamekasan, Madura. Banyak cerita yang mengiringi perjalanan beliau dari habisin dana APBD-lah, anak-anak SD yang suruh nyambut beliau dijalan yang kelaparan karena harus nunggu 1.5 jam di siang bolong lah, dan pro-kontra yang lain. Tapi yasudahlah, namanya media semua sama, nampilin yang seksih-seksih. Tapi yang saya salut disini, beliau pengen makan nasi jagung. Haha, ga penting tapi paling tidak berita ini dianggap seksih oleh para awak media. Bapak saya makan nasi jagung 7 tahun kok ga pernah masuk berita ya? Wehehe, klo pak beye, baru mau akan makan nasi jagung aja sudah masuk berita. Good job lah buat siapa saja. Lain kali main lagi pak ke penjuru-penjuru Endonesa, blusukan istilah jawanya, trus nyobain makanan khas rakyat Anda berupa nasi aking dan sejenisnya. Yakin deh nanti mas-mas dan mbak-mbak wartawan akan ngeliput Anda. Publikasi grates. Nyinyir. Biarin.
Oiya, pak, kalau ga salah dulu kita pernah swasembada beras kan ya? Kalau tidak salah sih. Trus sekarang gimana ceritanya pak? #just ask.
Bukan nyinyir atau apa, saya cuma warga negara yang pengen semuanya bisa menikmati beras atau apapun makanan pokoknya dengan layak. Gak lucu ah kalau negara yang katanya tanah surga ini masih ada yang kelaparan, gizi buruk dan sebagainya. Pasti ada yang salah urus sehingga jadi seperti itu. Oke, apapun itu semangat deh buat para pemimpin jujur dan berdedikasi, dan buat pemimpin korup atau bantuin temennya korup, apapun itu, kalian lebih jauh lebih buruk dari bakteri E.coli.(kamal)

Senin, 23 September 2013

Laziness and Turning Point

Salam, hampir satu tahun mungkin tidak meng-update blog ini. Bukan karena tidak ada hal yang bisa diceritakan, malah banyak sekali hal yang bisa ditulis dalam halaman ini. Penyakit malas, iya, penyakit malas. Penyakit ini memang tidak dikenal dalam istilah kedokteran. Carilah di kamus Dorland, sampai jantung Anda mengalami sindrom Eisenmenger juga ga akan ada. Tapi menarik juga sih untuk didiskusikan lain waktu. Karena penyakit ini menyerang hampir semua orang dan menyebabkan disfungsi hampir semua organ (lebay mode ON).