Sebagai sebuah perguruan tinggi yang lahir dari rahim ibu pertiwi yang masih muda, Universitas Gadjah Mada melekatkan jati dirinya ke dalam lima wajah, yaitu sebagai sebuah universitas pancasila, universitas perjuangan, universitas nasional, universitas kerakyatan, dan universita kebudayaan. Dan kelima jati diri tersebut telah terpatri dan melekat secara resmi di dalam tubuh universitas tertua di negeri ini. UGM sebagai universitas pancasila karena pancasila sebagai sebuah dasar negara, pandangan, falsafah, dan way of life bagi segenap warga negara, dan UGM hadir untuk membentuk pion-pion warga negera yang unggul berlandaskan pancasila.
Lebih lanjut kepribadian bangsa ini sebenarnya sudah mencerminkan pancasila karena diambil dari khasanah kepribadian bangsa kita sendiri. Sebagaimana kata Bung Karno bahwa pancasila bukanlah temuan atau hadiah dari langit tetapi dia adalah galian dan cerminan bangsa Indonesia. Sehingga di titik inilah bahwa setiap jiwa dokter itu pada dasarnya adalah pancasilais. Yaitu jiwa yang memiliki nilai berkeTuhan-an, berdemokrasi, berkemanusiaan,dan akhirnya bermuara pada kebaikan pasien. Sehingga hal ini mengingatkan kembali bahwa pendidikan kedokteran itu tidak sekedar perihal intelektual yang selama ini mempunyai kelemahan dalam aspek kulturalnya, tetapi juga seharusnya berbicara pada ranah moral, mental, dan sosial.
Jika kita mengandaikan bahwa kebudayaan itu adalah otak, maka dari otak inilah menciptakan produk otak yang bermacam-macam seperti filsafat, seni, rasa, dan karsa, yang pada akhirnya membentuk sebuah bangunan utuh. Sehingga pendidikan di sini hadir untuk menghidupkan aspek-aspek tersebut yang pada akhirnya memunculkan orang yang berbudi luhur. Karena bisa jadi pendidikan dokter sekarang hanya menjadi pendidikan saja, dan tidak merangkakum entitas rasa dan karsa. Sebagai contoh kecil adalah dokter anak hanya tahu bagaiman cara mengobati anak tetapi tidak tahu apa yang terjadi dengan negara dan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan yang ada di Singapura, Amerika, dan China yang memang tidak sejak awal tidak ada pendidikan kewarganegaraan sehingga mereka enak saja bekerja di luar tanpa harus memperhatikan negaranya sendiri.
Sehingga menjadi sebuah keniscayaan bagi dokter Indonesia khususnya dokter lulusan Universitas Gadjah Mada untuk mengutamakan bangsa dan negaranya sendiri, kalaupun mempunyai fellowship atau kerja ke luar negeri harus didasarkan pada visi kebangsaan. Jadi dokter Indonesia melihat Indonesia adalah bagaimana dia mengabdikan dirinya bagi bangsanya, melihat realitas untuk memperbaiki bukan melihat realitas untuk ditinggalkan. Berangkat dari sini, unsure intelektual bagi seorang dokter tidaklah cukup jika belum diimbangi dengan unsur humaniora. Sebagai misal, sudah seyogyanya jika dokter UGM ditugaskan ke Gunung Kidul atau daerah terpencil lain di negeri ini maka tidak akan ada kata keluhan ataupun penolakan yang keluar dari mulutnya.
Kekhawatiran kini muncul ketika sekarang persebaran dokter berkumpul pada titik-titik daerah tertentu. Padalah dulu dokter-dokter UGM terkenal karena mampu mengisi daerah-daerah terpencil di Indonesia dan sekarang lebih banyak berkumpul di wilayah Jawa lebih spesifik lagi di Jogja. Akhirnya dokter kita mengabdi kepada uang atau material dimana dalam hal ini tidak jauh berbeda seperti dulu yang mengabdi pada Belanda. Namun tidak bisa kita pungkiri juga bahwa sampai kemudian dr.Sutomo menjadi aktor penting yang menyulut semangat nasionalisme dengan mengilhami terbentuknya Boedi Oetomo hingga akhirnya hadiah kemerdekaan dapat kita dapatkan.
Jika dulu dokter UGM mampu mandiri dimana-mana, bagi dokter sekarang uang adalah orientasi yang didahulukan pertama kali. Dengan kata lain saat ini pengabdian dokter beralih pada pasar—bukan lagi segenap entitas rakyat Indonesia. Logika dan pergesaran orientasi ini kemudian menempatkan kesehatan sebagai sebuah komoditas, rumah kesehatan sebagai sebuah perusahaan industri, dan dokter menempatkan dirinya sebagai seorang buruh. Ideologi pasar yang kapitalistik berada memayungi mentalitasnya. Realitas tersebut berbeda dengan Iran yang mempunyai pendidikan dokter bagus dan murah karena untuk dibangun dan dikembangkan untuk kemaslahatan orang banyak. Berbeda dengan kita yang sudah menjadi komoditas sehingga menjadikannya mahal melangit
Oleh karena itu hal ini memberikan isyarat pada mahasiswa supaya tidak hanya intelektual yang diasah tapi juga aspek humaniora dengan tidak tercerabut dari akar ke-Indonesia-an. Berdasarkan hal tersebut, hal yang paling mudah kita lihat adalah jika mahasiswa kedokteran yang tidak berintraksi dengan lingkungannya, maka mahasiswa tersebut menjadi sangat individualistis, padahal kedokteranyang kita dirikan adalah untuk masyarkat luas.
Di titik inilah pendidkan pancasila itu menemukan urgensinya untuk dimasukkan dalam pembahasan ke-UGM-an karena dari sinilah para guru pendiri bangsa mempunyai pesan bagi pendidikan dokter untuk menciptkan manusia berbudi luhur dan mempunayi kematangan secara intelektual, moral, mental, dan etik. Kedoktean transaksional harus kita hindarkan, karena hanya mau beerja jika ada uang. Yaitu dengan adanya pendidikan humaniora yang salah satunya dengan pancasila karena akan mengurang sifat dan sikap individualistis tersebut. Pendidkan intelektual itu menjadi berbahaya ketika tercerabut dari masyarakat sekitarnya dan akar kebudayaan bangsanya, bangsa Indonesia.
nice! mus
BalasHapus